PSYICHIC DETECTIVE YAKUMO: Connected Feelings #1
Diposting oleh :
Unknown | Dirilis :
03.18 | Series :
Novel Misteri
-PROLOG-
"Lima belas tahun yang lalu terjadi kasus pembunuhan ganjil dan mengerikan di rumah ini."
Dengan sinyal dari sutradara sekaligus juru kamera, Hoshino, reporter Yuki mulai berbicara sambil menghadap kamera. Walaupun disebut kamera, yang Hoshino gunakan bukanlah kamera profesional yang dipakai di stasiun televisi, melainkan handycam yang biasa digunakan di lokasi syuting variety show. Apa boleh buat, acara mereka adalah acara tengah malam beranggaran kecil.
Maruyama mengeluarkan salib dari saku pakaian ibadahnya dan menggenggamnya dengan kedua tangan.
Angin dingin berhembus...
Lucu sekali membuuat acara spesial fenomena supernatural di musim seperti ini. Tapi, aku harus bersabar. Kalau tampil di televisi, mangsa-ku akan bertambah.
Maruyama menarik napas dan berdiri tegap.
"Saat ini, tidak ada seorang pun yang berani mendekati rumah ini."
Yuki mendongak dan menunjuk ke rumah berlantai dua yang dimaksudnya. Maruyama juga melempar pandangannya ke arah rumah tersebut.
Rumah yang besar.
Entah apa maksud pemilik rumah itu, tetapi bila dikatakan secara terus terang, seleranya buruk. Atap rumah meruncing dengan pilar-pilar berbahan kayu yang terlihat dari luar. Bentuknya mengingatkannya pada gereja di abad pertengahan. Tak cocok dengan pemandangan Jepang.
"Terdapat rumor bahwa ada hantu yang muncul di rumah ini. Apakah itu dendam dari korban pembunuhan yang terjadi di tempat ini? Ataukah memang sejak awal rumah ini terkutuk sehingga pembunuhan itu pun terjadi?"
Yuki menyipitkan matanya yang berbentuk almond dan berhenti sejenak. Seperti telah memperhitungkan waktunya, Hoshino mengguncangkan dahan-dahan pohon kering yang ada di rumah.
Srak, srak.
"Malam ini kita akan mengetahui jawabannya," ucap Yuki dengan wajah serius.
Maruyama baru pertama kali melihat entertainer bernama Yuki. Ia heran mengapa sampai saat ini Yuki tak pernah muncul di banyak acara.
Berkulit putih bagaikan porselen dan berhidung mancung. Sekilas, ia tampak sopan, tetapi mata berbentuk almond yang berada di bawah alisnya itu seperti memprovokasi para lelaki. Kecantikannya dapat membuat entertainer lain berlari tunggang-langgang.
Selain itu, cara bicaranya juga tak buruk. Tentu saja, ia mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan lancar. Namun, selain itu, suaranya terdengar bermartabat.
"Hari ini, kami mengundang tamu seorang cenayang, Pak Maruyama." Yuki memperkenalkan Maruyama.
Maruyama merapikan kerah pakaian ibadahnya, membuat ekspresi sendu di wajahnya, lalu masuk ke sorotan kamera dengan berdiri di hadapan Yuki.
"Saya Maruyama."
Maruyama menundukkan kepala dengan hati-hati agar tampak bermartabat.
"Pak, bagaimana pendapat anda saat melihat rumah ini?" tanya Yuki.
Maruyama menggenggam salib di dadanya dan memejamkan mata. Setelah menghitung sampai tiga di dalam hati, ia membuka matanya lebar-lebar.
"Kuat. Saya merasakan kebencian yang begitu kuat." Maruyama melemparkan pandangannya ke arah rumah.
"Apakah memang ada hantu di rumah ini?"
Maruyama menjawab pertanyaan Yuki dengan anggukan. Walaupun demikian, di lubuk hatinya, ia tak berpikir seperti itu. Maruyama sama sekali tak memercayai keberadaan hantu, Tuhan, bahkan iblis sekalipun. Walaupun menggenggam salib, ia menganggap keajaiban itu konyol.
Maruyama sebenarnya sudah lama berkecimpung dalam bisnis ini, tetapi belum pernah bertemu dengan hantu sama sekali. Menurutnya, hal itu tak lebih dari sekedar pemikiran yang salah atau obsesi manusia.
Maruyama menjadi cenayang karena hal itu mendatangkan uang baginya. Apabila ia berkata kepada orang-orang yang datang berkonsultasi bahwa mereka diikuti roh jahat, mereka akan bersedia membayar berapa pun. Ia mencuri uang orang dengan memanfaatkan kelemahan mereka.
Maruyama sendiri sadar kalau dirinya seorang penipu.
"Ada hantu. Tolong jangan menjauh dari saya. Sangat berbahaya." Maruyama mengucapkan kata-kata yang berbeda dari isi hatinya dan menatap kamera lekat-lekat.
"Ya, oke. Kalau begitu, ayo kita segera mengambil gambar di bagian dalam rumah."
Dengan sinyal dari Hoshino, kamera berhenti merekam dan mereka pun berpindah ke depan pintu rumah.
"Oke. Yuki, tolong buka pintunya. Pak Maruyama, anda masuk duluan. Sisanya kita lihat saja bagaimana jadinya."
Setelah memberikan intruksi yang tak cukup jelas, Hoshino menyerahkan kunci kepada Yuki dan mulai merekam lagi.
"Baiklah, saya rasa sudah saatnya kita masuk ke dalam rumah," ucap Yuki sambil memasukkan kunci ke lubangnya, lalu memutarnya perlahan.
Terdengar bunyi gesekan besi berkarat dan pintu pun terbuka. Yuki menatap Maruyama untuk memintanya masuk. Maruyama menjawab dengan anggukan, lalu memutar kenop pintu.
Kriiiieeeet.
Bunyi pintu terbuka seperti bunyi kuku yang digarukkan pada papan tulis kayu. Bunyi itu menyebabkan burung-burung gereja yang hinggap di dahan-dahan pohon kering bertebangan serempak sambil memekik nyaring dan meninggalkan bunyi kepakan sayap yang keras.
"Kyaa!" Yuki memekik pendek dan memegang lengan Maruyama. Wajahnya memucat. Ia benar-benar ketakutan.
Kalau bertindak dengan lihai, mungkin aku bisa mendapatkan kesempatan bagus.
Maruyama menjejakkan kaki ke dalam rumah dengan menyimpan niat buruk di dalam hatinya. Sinar lampu kamera menyinari jalan mereka.
Ruangan depan rumah tersebut berupa atrium dengan koridor panjang di seberang pintu dan serangkaian anak tangga di sebelah kirinya. Lantainya tertutup dedaunan kering serta debu sampai-sampai tak terlihat bedanya dengan permukaan tanah. Kertas dinding yang telah menguning terkelupas di sana-sini. Bau seperti ikan busuk menusuk hidung mereka.
Padahal saat ini musim dingin, tetapi ruangan itu terasa sangat lembap. Walaupun mungkin saja mereka merasa begitu hanya karena terbawa suasana. Begitu Maruyama membenahi perasaannya, ia kembali berjalan menelusuri koridor bersama Yuki dan Hoshino.
Krit, krit, krit.
Lantai berderik tiap kali mereka melangkah. Begitu sampai di ujung koridor, Maruyama terhenti.
Sebuah pintu menghadang di depan mereka.
"Saya merasakan aura yang kuat dari balik pintu ini." Maruyama menunjuk pintu.
Sebetulnya ia tak merasakan aura apa pun. Saat briefing, ia tahu bahwa mayat korban pembunuhan ditemukan di ruang keluarga yang berada di ujung koridor, jadi ia hanya berakting dengan mengikuti informasi itu.
Zruut.
Terdengar bunyi sesuatu yang jatuh tergelincir.
Tubuh Yuki bergetar hebat.
"...Si, siapa?!" seru Yuki dengan suara melengking, berbeda dengan suaranya sebelumnya.
"Ada apa?"
"Ta, tadi ada yang menyentuh pundak saya..." jawab Yuki dengan air mata berlinang.
Maruyama mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun, tak ada orang selain Hoshino yang sedang memegang kamera. Terkadang, akibat terbawa suasana, manusia berhalusinasi melihat atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Yuki pasti tipe orang yang seperti itu.
Maruyama, yang detak jantungnya juga meningkat, berusaha meyakinkan diri sendiri.
"Uwaaa!!" Hoshino tiba-tiba berteriak sambil terlonjak.
"Ada apa?" Tanya Maruyama sambil berusaha untuk tetap tenang.
"Tadi ada yang menyentuh leherku." Mata Hoshino membelalak terkejut.
Jangan bercanda! Itu pasti cuma ilusi! Kepanikan Yuki pasti menularnya! Konyol!
Cklak.
Maruyama dengan spontan berpaling ke sumber suara. Pintu di ujung koridor yang sejak tadi tertutup perlahan-lahan terbuka...
Bohong! Hal seperti ini tidak mungkin terjadi! Mereka pasti ingin menakut-nakutiku! Aku tidak akan tertipu!!
Maruyama menghirup napas dalam-dalam dan mengintip ke dalam ruangan di balik pintu. Penerangan dari sinar lampu kamera menerangi lantai. Tanpa sadar, matanya terbuka lebar-lebar. Di seluruh permukaan lantai terdapat noda hitam. Noda darah.
Apa benar pernah terjadi kasus pembunuhan di tempat ini?
"Tidak! Jangan ke sana!" jerit Yuki. Ia mencengkeram erat lengan Maruyama hingga laki-laki itu kesakitan.
"Tenang. Ada saya."
Yuki tak memberikan respons apa pun terhadap ucapan Maruyama. Tubuhnya mulai gemetaran. Gemetarannya semakin bertambah kuat hingga akhirnya ia jatuh berlutut.
"Ada apa?!"
Yuki tak menjawab Maruyama. Tiba-tiba, ia memuntahkan isi perutnya di tempat itu dan tumbang sambil menekan dadanya.
Oi, oi, ini bohong, 'kan?!
Seolah mengejek Maruyama yang terguncang, penerangan lampu kamera menghilang dari ruangan. Mereka diselimuti kegelapan pekat hingga tak dapat melihat ujung jari sekalipun.
Ada apa? Apa yang terjadi?!
Klang, klang, klang.
Terdengar bunyi logam yang dipukul secara beruntun.
"Uwaaah! Hentikan!"
Teriakan Hoshino menusuk telinga Maruyama. Selanjutnya, ia mendengar bunyi gaduh dan amukan. Namun, tak sampai sepuluh detik kemudian, keheningan menyelimutinya.
"Pak Hoshino! Pak Hoshino!"
Maruyama menjulurkan tangannya ke depan, mati-matian meraba-raba untuk mencari Hoshino yang seharusnya ada di situ sambil meneriakkan namanya.
Bruk.
Maruyama mendengar bunyi sesuatu yang jatuh ke lantai. Tubuhnya mulai berkeringat. Napasnya terasa sesak.
Perasaan apa ini?!
Maruyama benar-benar telah kehilangan akal pikirannya di tengah kegelapan.
Ada sesuatu yang menyentuh punggungnya!
Haa, haa, haa --- !
Dengan napas menderu, Maruyama berlari sekuat tenaga meski tak tahu arah tujuan. Akan tetapi, segera saja kakinya terantuk sesuatu dan ia pun jatuh terjerembap ke depan.
Maruyama sama sekali tak mengindahkan rasa sakit yang dirasakannya. Ia hanya berpikir untuk segera keluar dari tempat itu. Ketika ia berusaha berdiri dan mengangkat kepalanya, wajah seorang perempuan melayang di depan matanya.
Wajah perempuan itu dipenuhi darah.
Maruyama telah mencapai batasnya.
"AAAAAHHH!!"
Bersamaan dengan jeritannya, Maruyama pun kehilangan kesadaran.
-oOo-
URL POST :
Request yg sedih sedih kak:( biar aku galo:(
BalasHapusOk, nanti coba oe cari ;)
BalasHapus