-FILE I : Menghilang-


3

Benar-benar menyebalkan!
Gotou duduk dengan kaki terjulur dan badan bersandar ke sandaran kursi penumpang depan, menyalakan rokoknya, lalu mlempar pemantik ke dasbor mobil. Ishii yang duduk di kursi pengemudi mengirimkan pandangan ketakutan kepada Gotou sambil membetulkan letak kacamata berbingkai peraknya.
“Lihat apa, hah?!” ancam Gotou.
Ishii cepat-cepat mengalihkan pandangannya.
“Ah, tidak, bukan apa-apa...”
Seperti biasa, Ishii bersikap takut-takut.
“Bicara yang jelas!”
“Ah, baik! Eeh, Anda terlihat cukup emosi, jadi...”
Ucapan Ishii membuat Gotou kembali murka.
Divisi Penyelidikan Khusus Kasus Yang Belum Terpecahkan, tempat Gotou tergabung, berada di bawah divisi kriminal; dan seperti namanya, pekerjaan mereka adalah menyelidiki kasus yang belum terpecahkan. Akan tetapi, kali ini mereka diperintahkan untuk menyelidiki orang mencurigakan yang sering muncul di sekitar gedung yang akan dirobohkan.
Biasanya ini pekerjaan polisi yang bertugas jaga di pos polisi atau divisi kepolisian regional. Namun, karena ini intruksi langsung dari Kepala Divisi Kriminal Miyagawa, tugas ini pasti sengaja diberikan kepada mereka.
Gotou berpikir kalau mereka mungkin memang tak disukai atau mungkin ini ledekan karena mereka dianggap senggang.
“Memangnya kau tidak kesal?!”
“Pak Miyagawa memerintahkan ini karena perhatian kepada Anda, lho.” Nada bicara Ishii santai seperti biasa.
“Perhatian?”
“Ya, karena belakangan ini Anda hanya mengurus dokumen dan tidak pernah turun ke lapangan.”
“Yang seperti itu dinamakan perhatian?”
“Ah, tidak... itu...”
Ishii menarik kepalanya dengan ketakutan saat melihat Gotou mencodongkan badan ke arahnya.
“Itu apa?! Cepat katakan!!” Gotou mencengkeram leher Ishii dengan kuat.
“Tidak, itu... Pak Miyagawa bilang, belakangan ini Inspektur Gotou meng...gen...” Ishii menggerak-gerakan mulutnya tak jelas. Justru bagian pentingnya tidak terdengar sama sekali oleh Gotou.
Laki-laki yang tidak tegas.
“Bicara yang jelas!” Gotou menghantamkan tinjunya ke ubun-ubun Ishii.
“Aaaakh!” Ishii mengeluarkan suara seperti kucing yang ekornya terinjak.
Apa perlu sekalian kuangkat dengan menjepit tengkuknya?
“Makanya, begini... Pak Miyagawa pernah bilang, turunkan Inspektur Gotou ke lapangan dan biarkan dia berolahragab sedikit...
“Memangnya aku ini anjing? Bicaranya seperti menyuruh orang mengajak anjing jalan-jalan saja.”
“Tidak, tapi...”
“Apa?”
“Kata Pak Miyagawa, sejak masuk rumah sakit baru-baru ini, Inspektur Gotou jadi... anu... menggemuk...”
Menggemuk...
Mendengar kata itu, Gotou bereaksi dengan memandangi perutnya. Ia tidak pernah mengukur berat badannya, tetapi samar-samar bisa merasakannya. Ikat pinggangnya bertambah dua lubang, kemejanya menjadi sulit dikancingkan, dan celananya terasa sesak.
Gotou mencoba mencubit perutnya. Terasa kenyal seperti sedang memegang marshmallow. Rasanya enak juga.
“Menurutmu bagaimana?” Gotou menatap Ishii dengan pandangan ingin tahu.
“Mengenal apa?” tanya Ishii dengan wajah polos, padahal ia paham maksud pertanyaan Gotou.
“Makanya, itu tadi... apa aku menggendut?” tanya Gotou sambil berdeham.
“Jujur?”
“Jujur.”
“Anda tidak akan memukul saya?”
“Cukup bertele-telenya!”
Sambil mengarahkan pandangan curiga, Ishii membuka mulut dengan ragu-ragu. “Saya rasa lemak di tubuh Anda memang menjadi lebih tebal daripada sebelumnya.”
Meski cara bicaranya sopan, artinya tidak berubah.
Spontan, Gotou mengangkat tinju dan mengarahkannya kepada Ishii. Seketika, Ishii mengeraskan pundaknya dan menjerit aneh, “Hiii!”
“Tadi Anda janji tidak akan memukul saya!”
“Aku belum memukulmu!”
Gotou menggaruk-garuk kepala dengan tangan yang tadi diangkatnya sambil memelototi Ishii.
“Aku segitu gendutnya?” tanya Gotou sekali lagi sembari memasukkan puntung rokoknya ke asbak portable.
“Tidak. Saya rasa itu bukan hal yang perlu dipusingkan. Beruang mengonsumsi banyak makanan sebelum hibernasi di musim dingin. Karena dibutuhkan lemak yang banyak demi melewati musim dingin...”
Aku sudah tak tahan lagi! Persetan dengan janji!
Gotou mendaratkan tinjunya di ubun-ubun Ishii.
“Apanya yang beruang?! Hibernasi? Dasar bodoh!” teriak Gotou di dalam mobil sambil mencengkeram kerah Ishii dan mengguncangkannya dengan keras.
“Inspektur Gotou, tolong hentikan! Ini berbahaya!”
“Berisik! Berani kau bicara lancang...”
Ishii menginjak rem sebelum Gotou dapat menyelesaikan ucapannya. Gotou berusaha mempertahankan posisinya, tetapi posenya yang tidak biasa itu membuatnya terlempar ke depan sehingga kepalanya membentur dasbor.
“Jangan menginjak rem tiba-tiba!”
Sebuah pukulan mendarat di dada kerempeng Ishii.
“A, anu, Inspektur Gotou. Kita sudah sampai,” ucap Ishii kesakitan, tangannya menekan dada.
Gotou mengalihkan pandangannya; seperti yang dikatakan Ishii, mereka telah tiba di tujuan. Papan-papan seng dipasang di sekeliling lokasi yang bertuliskan jangka waktu pengerjaan konstruksi serta data kontak yang dapat dihubungi.
Gotou mendengus, kemudian turun dari mobil.
Dingin...
Hawa dingin merasuk hingga ke dalam tubuhnya. Sambil menghembuskan napasnya yang berubah menjadi putih, Gotou membuka pintu dari seng yang dibuat sebagai tempat keluar-masuk, lalu berjalan masuk.
Gedung berlantai lima itu terbuat dari beton baja. Termasuk halamannya, luasnya mungkin sekitar tiga ratus tsubo (3,31 meter persegi). Bagian dalamnya sudah selesai dirobohkan, tetapi tembok luarnya belum tersentuh sama sekali. Di pojok halaman terdapat tumpukan tinggi kayu-kayu bekas pembongkaran.
Gotou berjalan di halaman yang dipenuhi rumput liar dan berhenti di depan pintu masuk gedung yang daun pintunya sudah dibongkar. Ia melewati pintu depan gedung sambil menghindari kawat yang tergantung menyerupai tumbuhan menjalar. Terdapat retakan beton yang tidak terlapis dan lantainya dipenuhi debu. Papan langit-langitnya pun sudah dilepas semua.
Trek.
Gotou menginjak pecahan kaca, membuatnya langsung teringat akan kejadian di masa lalu.  
Ia pernah datang ke tempat ini sebelumnya.
Lima belas tahun lalu, di malam berhujan deras.
Gotou yang saat itu masih bertugas di pos polisi mendapat laporan bahwa seorang anak kecil akan dibunuh. Waktu itu, gedung ini masih dalam tahap pembangunan. Firasat buruk menghampirinya.
Memasuki gedung dengan mengandalkan penerangan dari lampu senter, Gotou melihat punggung perempuan yang sedang meringkuk di lantai. Perempuan itu mencondongkan badannya ke depan, dan ternyata sedang mencekik leher seorang anak kecil.
Gotou berusaha menahan perempuan yang mengamuk itu dan akhirnya berhasil menjauhkannya dari anak kecil itu. Namun, begitu ia tersadar, perempuan itu sudah menghilang. Sesudahnya, ia baru mengetahui kalau anak yang berusaha dibunuh perempuan itu adalah anak perempuan itu sendiri.
Kata-kata yang diteriakkan perempuan itu masih terngiang jelas di telinga Gotou.
“Anak ini pasti akan membunuh orang! Kalau tidak dibunuh sekarang, dia akan menjadi pembunuh seperti orang itu!”
Bagaimana perempuan itu bisa mengetahui kalau anak sekecil itu akan menjadi pembunuh di kemudian hari? Sampai sekarang pun Gotou tidak mengetahui jawabannya. Yang ia tahu, anak kecil itu kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda sombong, yang hidup dengan masih dibebani oleh kenangan hari itu.
“Ada apa?”
Gotou tersadar berkat panggilan Ishii.
“Tidak ada apa-apa. Ayo!”
Seolah ingin memutuskan benang yang menghubungkannya dengan masa lalu, Gotou melangkahkan kakinya memasuki gedung.
Sesampainya di depan pilar yang terletak dibagian terdalam gedung, Gotou menemukan sesuatu dan membungkuk untuk mengambilnya. Debu putih berterbangan.
“Itu... selimut?” tanya Ishii yang mengintip dari belakang Gotou.
“Ya.”
“Apa ada orang disini?”
“Sepertinya.”
Selain selimut, ada banyak kaleng makanan kosong yang berserakan. Sepertinya para pekerja kontruksi yang meninggalkannya atau bisa juga ada orang lain yang pernah tinggal di sini.
Gotou meletakkan kembali selimut itu di lantai dan bangkit berdiri.
Bruk.
Terdengar bunyi sesuatu yang terguling. Dengan spontan, Gotou melayangkan pandangannya ke pintu masuk gedung. Seorang laki-laki berdiri di sana. Mengenakan mantel selutut berwarna hijau dan celana jeans, serta memanggul tas yang tampak berat di pundaknya.
Apa dia orang yang tinggal di sini?
“Kami dari Kepolisian Setacho, ada yang ingin kutanyakan.”
Gotou mendekati laki-laki itu serta menunjukkan lencana polisinya. Wajah laki-laki itu berangsur-angsur terlihat lebih jelas. Rahanya lebar, alisnya tegas. Pandangan matanya tajam dan lurus.
Aku pernah melihat wajah ini. Di mana aku melihatnya...?
“Ah! Aaah!!” Ishii berteriak di telinga Gotou, memotong pemikirannya.
“Berisik!!” Gotou memukul bagian belakang kepala Ishii.
“Ta, tapi...” Walaupun mendapat perlakuan seperti itu, Ishii tidak mengkeret.
“Tapi apa?”
“Orang itu Shunsunke Takeda, kan?” ujar Ishii dengan cepat.
“Shunsunke Takeda? Pemain bola?”
“Bukan... Itu sih campuran nama para pemain bola.”
“Kalau begitu, siapa?”
“Shunsunke Takeda, tersangka kasus pembunuhan yang terjadi di rumah besar di atas bukit lima belas tahun lalu!”
Mungkin karena sudah merasa sangat kesal, Ishii mengatakannya dengan dengan suara keras sambil menghentakkan kakinya ke lantai. Mendengar ucapan Ishii, laki-laki itu menarik tubuhnya ke belakang.
Ingatan mengenai kasus tersebut kembali ke benak Gotou. Kasus pembunuhan itu terjadi saat Gotou sedang bertugas jaga di pos polisi, jadi ia tidak terlibat langsung. Namun, ia sudah melihat wajah itu berkali-kali di poster buronan.
Laki-laki ini memang mirip dengan buronan itu.
“Oi, apa kau Shunsunke Takeda?”
Bersamaan dengan pertanyaan yang dilontarkan Gotou, laki-laki itu memutar badannya dan berlari dengan kecepatan tinggi.
“Tunggu!” Gotou segera mengejarnya.
Sial! Kenapa aku tidak sadar lebih cepat, sih?! Memalukan sekali sampai harus diingatkan oleh Ishii!
Gotou keluar dari lokasi kontruksi; dan begitu berbelok di tikungan pertama, bagian samping tubuhnya terasa sakit. Napasnya sesak, badannya terasa berat. Ketika sedang berusaha mati-matian mengangkat kakinya yang menolak untuk bergerak, Ishii melintas di sampingnya.
Sial! Kenapa Ishii harus melewatiku! Aku masih bisa lari!
Gotou berusaha untuk mempercepat langkahnya, tetapi kakinya terasa berat seperti sedang berlari di dalam air. Tak lama kemudian, ia jatuh terduduk.
Padahal baru lari sekitar dua ratus meter, tapi apa-apaan ini? Apa yang terjadi pada tubuhku?!
Gotou memaksa untuk bangkit berdiri dan mulai berlari lagi meski terhuyung-huyung. Begitu melewati persimpangan kedua, ia mendapati Ishii sedang melihat ke sana kemari di depan jalan buntu.
“Ishii... di mana dia?”
Haa.. ha.. ha.. Gotou meletakkan kedua tangannya di lutut dan bertanya dengan napas tersengal-sengal seperti seekor anjing.
“Anu... saya yakin dia masuk ke jalan ini, tapi...” jawab Ishii dengan gelisah.
“Kau kehilangan dia?”
“Kehilangan? Lebih tepatnya... dia menghilang.”
“Menghilang?!”
“Ya.”
Kemurkaan Gotou mencapai puncaknya. Dengan emosi, ia mencengkeram kerah Ishii.
“Dasar! Mana mungkin manusia menghilang?! Jangan berasalan, atau kau mau kuhajar?!”
“Ma, maaf!” seru Ishii dengan wajah kaku.
Gotou ingin sekali memukul Ishii, tetapi staminanya sudah habis. Kekuatan di lututnya hilang. Ia terduduk di atas aspal dengan kepala tertunduk. Keringat mengalir deras dari dahinya seperti seseorang baru saja menyiram air ke tubuhnya.
Padahal aku yang dulu pasti bisa menangkapnya!
“Siaaal!” raung Gotou dengan menengadah ke matahari.

-oOo-

PENGENALAN TOKOH

Hasil gambar untuk gotou psychic detective yakumo

Kazutoshi Gotou

Inspektur polisi yang tergabung dalam Divisi Penyelidikan Khusus Kasus Yang Belum Terpecahkan. Selalu mengandalkan Yakumo.


Gambar terkait

Yutarou Ishii

Anak buah Gotou yang sering terjatuh.

Hasil gambar untuk simbol tanda tanya

Shunsunke Takeda
Tokoh ini masih dalam rahasia, tunggu di part tertentu dulu ya (Karna klo enggak gini enggak seru ;v)
Saat ini ia dituduh sebagai tersangka. 


PSYCHIC DETECTIVE YAKUMO: Connected Feelings #4

Admin :
-FILE I : Menghilang-


2

Haruka, yang baru saja selesai latihan klub orkestra, segera memasukkan seruling kesayangannya ke dalam kotak dan keluar meninggalkan ruang musik.
Setelah menolak ajakan temannya untuk makan bersama, Haruka berjalan menuju gedung prefab berlantai dua yang terletak di belakang Gedung B. Pada setiap lantainya terdapat sepuluh ruangan kecil yang disewakan pihak universitas sebagai tempat kegiatan klub.
Haruka berjalan menuju ruangan paling ujung di lantai satu. Pada pintunya tertempel papan bertuliskan “Asosiasi Peneliti Film,” tetapi itu hanya nama belaka. Sama sekali tak ada kegiatan klub di sana. Hanya seorang laki-laki eksentrik bernama Yakumo Saitou yang menempati ruangan itu. Entah bagaimana, orang itu berhasil menipu pihak universitas dan tinggal di sana. Walaupun biasanya disembunyikan dengan kontak lens hitam, sebenarnya mata kiri Yakumo berwarna merah dan dapat melihat roh orang yang telah meninggal dunia.
Haruka pertama kali bertemu Yakumo sekitar setahun yang lalu. Mereka berkenalan ketika Haruka ingin menolong temannya, Miki, yang kerasukan roh. Tiap kali mereka bertemu, Yakumo selalu mengejeknya, “Kau kurang kerjaan, ya?” atau “Kau bodoh, ya?”. Walaupun begitu, bagi Haruka, bersama dengan Yakumo merupakan hal yang sewajar menonton TV bersama keluarganya, hal yang membuatnya merasa nyaman.
Mungkin karena haruka bisa menjadi dirinya apa adanya.
Meskipun begitu, kenapa begini?
Saat ini, berdiri di depan pintu, jantung Haruka berdebar cepat. Kedua tangannya terkepal dan berkeringat. Kenapa ia menjadi tegang saat hendak menemui Yakumo? Padahal ini bukan sesuatu yang sulit. Ia cukup berkata, “Aku akan tampil di konser. Kalau kau ada waktu, datang nonton, ya!” Toh, Yakumo paling akan berkata, “Ogah!” dan topik ini pun akan berakhir begitu saja.
Haruka sadar kalau dirinya tegang karena menaruh harapan kepada Yakumo. Lantas, kenapa mengajaknya kalau sudah tahu akan ditolak? Ia sendiri tak tahu jawabannya. Justru akan aneh kalau sejak awal ia sudah berpikir begitu.
Lagi pula, memangnya kenapa kalau Yakumo datang ke konser? Terserahlah!
Haruka menyingkirkan dengan paksa pikiran-pikirannya yang saling bertentangan, lalu membuka pintu.
Yakumo ada di sana.
Ia duduk di kursi favoritnya dengan mata mengantuk dan rambut acak-acakan seperti biasa. Ia mengenakan down jacket padahal sedang berada di dalam ruangan, dan badannya gemetaran.
Kenapa tidak beli pemanas ruangan saja, sih? Pikir Haruka.
Namun, ia tak mengutarakannya. Karena Yakumo pasti akan membalas, “Kalau begitu, kenapa kau tidak membelikannya untukku?”
“H, hei.”
Setelah berusaha memberi salam dengan suara ceria, Haruka duduk di kursi seberang Yakumo.
Yakumo merespons dengan menaikkan alis kirinya. Raut mukanya tampak kurang senang, seperti kucing yang tidur siangnya diganggu.
“Iya, iya. Aku memang orang kurang kerjaan, kok,” ucap Haruka sebelum Yakumo sempat berkata apa-apa.
Bagaimana? Kaget? Setelah setahun mengenalmu, tentu saja aku bisa tahu apa yang ingin kau katakan!
Yakumo menggaruk-garuk kepala dengan sebal, kemudian menopang dagu dan melemparkan pandangan ke samping. Seperti kesal karena kalimatnya dicuri.
“Jadi hari ini ada masalah apa?” tanya Yakumo sambil menguap lebar.
“Berhenti menganggap seolah-olah aku pembuat masalah begitu, dong!”
Yakumo melebarkan kedua tangannya dengan berlebihan dan menggelengkan kepala. “Kau kira sudah berapa kali kau datang dan membawa masalah ke tempatku?”
“Itu... aku memang beberapa kali meminta tolong, sih...”
“Lima kali dalam setahun. Ingat? Bahkan, Michael Jackson pun tidak menggemparkan dunia sampai segitu banyaknya. Kalau tidak memanggilmu pembuat masalah, lalu siapa lagi yang harus kusebut pembuat masalah?” Yakumo tersenyum menyeringai penuh kemenangan.
“Asal kau tahu saja, kali ini aku datang bukan karena ada masalah.” Haruka tanpa sadar menjadi kesal.
“Kalau bukan masalah, terus apa yang kau sembunyikan?”
Insting Yakumo memang tajam.
“A, aku tidak menyembunyikan apa-apa, kok... Kenapa kau berpikir begitu?”
“Membalas pertanyaan dengan pertanyaan itu melanggar aturan.”
“Memangnya kau bisa berkata begitu? Itu jurus andalanmu, kan.”
Pipi Yakumo berkedut dan wajahnya menjadi tidak senang.
“Aku sudah pernah bilang, saat kau masuk ke ruangan ini dan berkata, ‘Hei’, dengan suara riang, biasanya pasti karena kau membawa masalah.”
“Karena merasa bersalah, kau jadi memaksakan diri supaya terdengar ceria.”
Merasa bersalah? Apa maksudnya?
Ucapan Yakumo itu membuat Haruka semakin kesal.
“Aku tidak merasa bersalah, tuh!”
“Kalau begitu, untuk apa kau kemari?”
“Aku hanya berpikir, siapa tahu kau mau datang ke konser kalau senggang!” Haruka langsung menuturkannya karena emosi.
“Konser? Konser siapa?” Yakumo mengerutkan alisnya dengan wajah masam, seolah sedang menghadapi misteri yang tak terpecahkan.
“Konseku.”
“Konsermu?”
“Aku belum pernah bilang, ya? Aku anggota klub orkestra.”
“Aku tahu itu. Tapi, aku tidak mengerti...”
Yakumo menyilangkan tangannya seperti sedang berpikir.
“Apa yang tidak kau mengerti?”
“Alasan aku harus pergi menonton konsermu.”
Jangan mengucapkannya seperti sedang mencari motif pembunuhan, dong!
“Tentu saja karena kita teman.”
Mendengar jawaban Haruka itu, Yakumo membelalakkan matanya.
“Teman? Siapa?”
“Kau dan aku, Yakumo... atau aku salah?” Mendengar cara bicara Yakumo, Haruka merasa tidak tenang.
Memangnya Yakumo pikir aku ini apa? Jangan bilang dia hanya menganggapku sebagai pembuat masalah! Memang sih aku sudah membawa banyak masalah. Tapi, ada banyak hal selain  itu, kan? Aku juga membantu penyidikan.. Haa... Sudahlah, aku tak peduli lagi!
Haruka menundukkan kepala di depan meja, tetapi kemudian mendongak dengan kesal kepada Yakumo yang masih berpikir keras.
“Padahal selama ini aku menganggap kita berteman...”
Haruka tak bermaksud untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tanpa sadar ia telah keceplosan. Air matanya pun sudah hampir menetes.
“Kau dan aku berteman, ya... Sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku.”
Yakumo sedikit menurunkan pandangannya, jari tangannya menggaruk pipi dengan malu-malu.
Oh, ya. Yakumo pernah bilang, di dunia ini hanya ada dua jenis manusia. Manusia yang takut terhadap dirinya dan manusia yang ingin memanfaatkannya.
Sejak kecil Yakumo diperlakukan dengan tidak baik karena matanya yang unik itu. Trauma itu membuatnya membangun tembok pemisah dengan orang lain. Kemudian, yang semakin memperparah situasinya adalah kasus yang menimpa ibunya.
Sewaktu kecil, Yakumo hampir dibunuh oleh ibunya sendiri. Meskipun Inspektur Gotou yang kebetulan lewat di tempat kejadian menyelamatkannya, Yakumo terlanjur mendapatkan luka fatal di hatinya.
Haruka mengira dalam setahun ini ia sudah cukup dekat dengan Yakumo. Namun, sepertinya hanya ia yang berpikiran seperti itu.
“Ya, sudah. Aku pulang, ya.” Haruka berusaha tersenyum, lalu bangkit berdiri.
“Kapan acaranya?” Yakumo menggaruk ujung hidungnya.
“Eh?”
“Kau tidak dengar? Aku tanya kapan konsernya diadakan.”
Ekspresi tegang Haruka spontan mengendur.
“Hari Sabtu minggu depan.”
Saking semangatnya, badan Haruka sampai condong ke depan ketika mengucapkannya.
“Tempatnya?”
“Aula kampus.”
“Kalau saat itu aku sedang amat sangat luang sekali sampai rasanya bosan setengah mati dan kebetulan berada di dekat situ, mungkin aku akan datang.”
Cara bicaranya berputar-putar sekali. Benar-benar tidak bisa jujur. Tapi, aku senang sih. Yakumo yang tidak bisa diajak bekerja sama itu mau menerima undanganku.
“Oke. Datanglah kalau kau amat sangat luang sekali sampai rasanya bosan setengah mati. Tiketnya akan kuberikan nanti.”
Meskipun hanya sedikit, aku merasa lebih dekat dengan Yakumo.
“Menjijikkan. Cepat hentikan cengiran di wajahmu itu!” Yakumo bergidik seperti melihat benda kotor.
Orang ini... Benar-benar tidak bisa jujur, ya!

-oOo-

PENGENALAN TOKOH : 

Hasil gambar untuk yakumo saitou psychic detective yakumo

Yakumo Saitou
Mahasiswa yang memiliki kemampuan melihat roh orang yang sudah meninggal dunia.

Hasil gambar untuk haruka ozawa psychic detective yakumo

Haruka Ozawa
Mahasiswi yang berkuliah di universitas yang sama dengan Yakumo. Menyukai Yakumo.

PSYCHIC DETECTIVE YAKUMO: Connected Feelings #3

Admin :
-FILE I : Menghilang-



Makoto Hijikata menjejakkan kakinya di jalanan menanjak. Jalan yang sempit dan berliku. Dahan-dahan kering yang lebat menyeruak dari kedua sisi jalan.                                                                         
Angin terus menerpanya...
Walaupun mengenakan down jacket serta sarung tangan, telinganya yang tanpa perlindungan terasa sakit bukan main.
Makoto berhenti dan memutar badannya. Perumahan dan pusat perbelanjaan tampak kecil bagai miniatur. Ia lalu mengeluarkan penghangat dari dalam saku dan mengenakannya di pipi dan telinga. Setelah merasa cukup hangat, ia kembali melanjutkan perjalanannya.
Sebentar lagi, ia akan tiba di tujuannya.
Tujuan Makoto adalah rumah yang menjadi tempat kejadian perkara (TKP) pembunuhan lima belas tahun lalu. Atasannya mengirim pesan yang memintanya untuk mengambil gambar tempat kejadian.
Kalau bisa, saya juga ingin menulis artikelnya. Ia mencoba mengirimkan pesan seperti itu, tetapi tak ada balasan.
Sampai setengah tahun lalu, Makoto masih berdiri di TKP sebagai jurnalis kriminal. Namun, itu berkat ayahnya yang seorang kepala polisi, bukan karena kemampuannya sendiri.
Buktinya, bersamaan dengan pengunduran diri ayahnya dari kepolisian, ia tak lagi ditugaskan di bagian peliputan dan dipindahkan ke bagian perencanaan.
Biasanya Makoto ditugaskan mengumpulkan informasi untuk artikel tak darurat yang entah akan digunakan atau tidak, dan diminta untuk mengerjakan tugas-tugas remeh seperti yang dilakukannya kali ini.
Makoto telah berjalan di jalan yang berbeda dari yang diharapkannya. Namun, itu bukan alasan untuk membusuk dan tak serius dalam melakukan pekerjaannya. Seandainya, menjadi tak serius begitu, justru di saat itulah ia hanya akan menjadi putri dari mantan kepala polisi.
Saat Makoto tenggelam dalam pikirannya, jalan menanjak telah memperlihatkan akhirnya. Ia dapat melihat rumah berdinding batu bata dengan gerbang berterali besi hitam. Jauh lebih besar dari yang dibayangkannya.
Makoto mengira takkan ada tempat untuk parkir sehingga ia datang dengan berjalan kaki. Tahu begitu, seharusnya ia datang dengan mobil.
Bangunan rumah meniru bentuk bangunan gereja bergaya Tudor Renaissance di abad pertengahan Inggris. Atapnya meruncing dengan pilar-pilar berbahan kayu yang terlihat dari luar.
Rumah tersebut dibangun agar kuat menahan salju karena berada di wilayah yang curah saljunya tinggi. Dindingnya dibuat dua lapis untuk mempertahankan kehangatan. Namun, tiap lapisan dindingnya tipis sehingga kekokohan dan ketahanan terhadap suaranya lemah.
Karena itu, suara jeritan terdengar hingga ke luar rumah...
Makoto mengeluarkan kamera digital dari dalam tasnya dan mulai menekan tombol shutter berkali-kali sambil mengganti sudut pandang serta mengatur zoom. Ia lalu meriksa foto-foto yang diambilnya.
Rumah yang menyerupai gereja itu dikelilingi halaman yang luas. Di sudut taman berdiri sebatang pohon momiji (Mapel). Bagaikan pemandangan di film-film.
Benarkah lima belas tahun lalu terjadi kasus pembunuhan di tempat ini...? Makoto tak ingin mempercayainya.
  Awalnya, dimulai dari laporan tetangga mereka, Nona A. Tanggal 10 Februari lima belas tahun lalu, pukul 00:07 pagi, Nona A memberi laporan kepada polisi bahwa ia mendengar jeritan dari rumah sebelah.
Pada saat itu, ada lima orang yang tinggal di rumah tersebut. Mereka adalah Kanji Nanase beserta istrinya; putra sulungnya, Katsuaki, dan istrinya; serta putri Katsuaki, Miyuki. Keluarga Nanase secara turun-temurun adalah tuan tanah di daerah itu dan Kanji adalah orang terkenal yang bahkan menjadi direktur sebuah SMP swasta. Orang-orang bahkan bergosip bahwa mungkin tak lama lagi ia akan masuk ke dunia politik.
Orang pertama yang tiba di TKP adalah Inspektur Miyagawa yang saat itu sedang dalam perjalanan pulang. Ia bertemu dengan Nona A dan mendengarkan penjelasannya. Tanpa menunggu pasukan bantuan tiba, Miyagawa, yang memutuskan bahwa ini adalah kondisi darurat, pergi ke depan kediaman Nanase dan mencoba memanggil orang di dalam rumah. Namun, tak ada jawaban.
Karena pintu depan dalam keadaan terbuka, Miyagawa pun masuk ke rumah tersebut.
Di ruang keluarga yang berada di ujung koridor, Miyagawa menemukan beberapa mayat laki-laki dan perempuan yang telah ditusuk berkali-kali. Itu adalah mayat Kanji Nanase dan istrinya, serta anaknya, Katsuaki, dan istrinya. Ketika hendak keluar untuk memanggil bantuan, Miyagawa menemukan putri Katsuaki, Miyuki, masih hidup. Ia hendak mengamankannya, tetapi seseorang memukul kepalanya hingga ia jatuh pingsan.
Pasukan bantuan menemukan Miyagawa yang tumbang di koridor dan membawanya ke rumah sakit. Syukurlah, nyawanya tak terancam. Namun, sosok Miyuki sudah menghilang saat pasukan datang. Mereka berasumsi bahwa Miyuki diculik oleh pelaku. Tim investigasi segera dibentuk dan penyidikan dilakukan dengan asumsi pembunuhan dilakukan atas dasar motif perampokan atau dendam. Mereka berharap kasus dapat segera terpecahkan karena Miyagawa melihat pelaku. Namun, pukulan di kepala menyebabkan Miyagawa kehilangan seluruh ingatan mengenai kasus tersebut.
Makoto melewati gerbang dan berjalan di block paving menuju depan rumah. Halaman yang mungkin sebelumnya selalu terawat kini ditumbuhi rumput-rumput liar hinga setinggi lutut.
Setelah kejadian itu, tak ada orang yang mau membeli rumah ini. Tak hanya itu, sang pelapor, Nona A, yang tinggal di sebelah rumah juga pindah karena beredar rumor bahwa terdengar suara jeritan setiap tanggal peristiwa itu terjadi.
Polisi yang gigih melakukan penyidikan mempersempit kemungkinan tersangka dengan motif dendam karena ternyata tak ada benda yang dicuri. Banyak orang yang tak menyukai Kanji Nanase dan terdapat beberapa nama yang muncul di awal penyidikan.
Tak lama kemudian, ditemukan bukti yang nyata.
Sidik jari yang ditemukan di TKP cocok dengan salah satu tersangka, Shunsunke Takeda, yang pada saat itu berusia tiga puluh tahun. Sidik jari itu juga bercampur dengan darah korban, jadi Takeda jelas-jelas berada di TKP setelah pembunuhan itu terjadi.
Sejak tahap penyidikan, Takeda tak menunjukkan niat untuk bekerja sama. Ia tak memiliki alibi yang jelas dan polisi mendapat kesaksian bahwa Takeda mengunjungi rumah korban pada hari peristiwa itu terjadi.
Kepolisian akhirnya menetapkan Shunsunke Takeda sebagai pelaku. Mereka mendapatkan surat perintah penangkapan dan mengunjungi apartemen tempat Takeda tinggal. Namun, Takeda sudah tak ada di sana. Pisau bernoda darah korban di temukan di kamarnya sehingga polisi menyatakan Takeda sebagai buronan nasional. Akan tetapi, penyidikan mereka berakhir sia-sia. Jangankan menangkap Takeda, keberadaan Miyuki pun tak diketahui hingga saat ini.
Makoto yang telah sampai di depan pintu rumah, lagi-lagi menekan tombol shutter.
Dinding yang dulu berwarna putih telah berubah menjadi kuning dan di banyak bagian telah menghitam dan mengelupas. Seandainya turun hujan yang disertai halilintar, persis sudah seperti di film horor.
Kiits.
Terdengar bunyi logam bergesek. Setelah diperhatikan, ternyata pintu depan sedikit terbuka. Padahal setahu Makoto, ia takkan bisa masuk karena pintunya terkunci.
Makoto mencoba mengintip ke dalam melalui celah pintu, tetapi tak bisa melihat apa-apa karena gelap. Ia mengeluarkan saputangan, meletakkannya di kenop pintu, dan memutarnya perlahan. Cahaya dari luar menyeruak masuk sehingga ia dapat melihat tangga menuju lantai dua serta koridor yang diselimuti debu. Begitu menajamkan pandangannya, ia melihat ada jejak kaki manusia yang berjalan menyusuri koridor.
“Apa ada orang di dalam?”
Bersamaan dengan Makoto yang mengeraskan suaranya, terdengar bunyi sesuatu yang terguling.
“Kyaa!”
Terkejut, Makoto spontan terlonjak ke belakang.
Ada seseorang di dalam!
Makoto memantapkan hatinya dan masuk melalui pintu depan. Ujung kakinya menyentuh sesuatu. Begitu menunduk, ia melihat sebuah kamera handycam yang jatuh tergeletak di lantai.
Kenapa ada kamera di tempat seperti ini?
Saat Makoto mencondongkan tubuh untuk memungutnya, seseorang melintas di belakangnya.
Ia merinding.
Mesti ketakutan, Makoto pelan-pelan mengangkat wajah dan menatap ke depan. Sesuatu yang hitam tampak di ujung koridor.
Apa itu?
Ketika Makoto tengah berpikir begitu, sesuatu itu terguling ke samping.
Manusia. Seorang perempuan terlihat sangat lemah dan wajahnya pucat. Perempuan itu bertemu pandang dengan Makoto. Bibirnya yang membiru dan pecah-pecah bergerak perlahan.
“To...lo...ng...”

-oOo-

PENGENALAN TOKOH : 

Gambar terkait

Makoto Hijikata
Jurnalis surat kabar. Ayahnya adalah kepala polisi. 

PSYCHIC DETECTIVE YAKUMO: Connected Feelings #2

Admin :
-PROLOG-
 
 
       
       "Lima belas tahun yang lalu terjadi kasus pembunuhan ganjil dan mengerikan di rumah ini."
     Dengan sinyal dari sutradara sekaligus juru kamera, Hoshino, reporter Yuki mulai berbicara sambil menghadap kamera. Walaupun disebut kamera, yang Hoshino gunakan bukanlah kamera profesional yang dipakai di stasiun televisi, melainkan handycam yang biasa digunakan di lokasi syuting variety show. Apa boleh buat, acara mereka adalah acara tengah malam beranggaran kecil. 
     Maruyama mengeluarkan salib dari saku pakaian ibadahnya dan menggenggamnya dengan kedua tangan. 
     Angin dingin berhembus... 
Lucu sekali membuuat acara spesial fenomena supernatural di musim seperti ini. Tapi, aku harus bersabar. Kalau tampil di televisi, mangsa-ku akan bertambah.
     Maruyama menarik napas dan berdiri tegap.
     "Saat ini, tidak ada seorang pun yang berani mendekati rumah ini."
   Yuki mendongak dan menunjuk ke rumah berlantai dua yang dimaksudnya. Maruyama juga melempar pandangannya ke arah rumah tersebut.
     Rumah yang besar.
     Entah apa maksud pemilik rumah itu, tetapi bila dikatakan secara terus terang, seleranya buruk. Atap rumah meruncing dengan pilar-pilar berbahan kayu yang terlihat dari luar. Bentuknya mengingatkannya pada gereja di abad pertengahan. Tak cocok dengan pemandangan Jepang.
     "Terdapat rumor bahwa ada hantu yang muncul di rumah ini. Apakah itu dendam dari korban pembunuhan yang terjadi di tempat ini? Ataukah memang sejak awal rumah ini terkutuk sehingga pembunuhan itu pun terjadi?"
     Yuki menyipitkan matanya yang berbentuk almond dan berhenti sejenak. Seperti telah memperhitungkan waktunya, Hoshino mengguncangkan dahan-dahan pohon kering yang ada di rumah.
     Srak, srak.
     "Malam ini kita akan mengetahui jawabannya," ucap Yuki dengan wajah serius.
     Maruyama baru pertama kali melihat entertainer bernama Yuki. Ia heran mengapa sampai saat ini Yuki tak pernah muncul di banyak acara.
     Berkulit putih bagaikan porselen dan berhidung mancung. Sekilas, ia tampak sopan, tetapi mata berbentuk almond yang berada di bawah alisnya itu seperti memprovokasi para lelaki. Kecantikannya dapat membuat entertainer lain berlari tunggang-langgang.
     Selain itu, cara bicaranya juga tak buruk. Tentu saja, ia mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan lancar. Namun, selain itu, suaranya terdengar bermartabat.
     "Hari ini, kami mengundang tamu seorang cenayang, Pak Maruyama." Yuki memperkenalkan Maruyama.
     Maruyama merapikan kerah pakaian ibadahnya, membuat ekspresi sendu di wajahnya, lalu masuk ke sorotan kamera dengan berdiri di hadapan Yuki.
     "Saya Maruyama."
     Maruyama menundukkan kepala dengan hati-hati agar tampak bermartabat.
     "Pak, bagaimana pendapat anda saat melihat rumah ini?" tanya Yuki.
     Maruyama menggenggam salib di dadanya dan memejamkan mata. Setelah menghitung sampai tiga di dalam hati, ia membuka matanya lebar-lebar.
     "Kuat. Saya merasakan kebencian yang begitu kuat." Maruyama melemparkan pandangannya ke arah rumah. 
     "Apakah memang ada hantu di rumah ini?"
     Maruyama menjawab pertanyaan Yuki dengan anggukan. Walaupun demikian, di lubuk hatinya, ia tak berpikir seperti itu. Maruyama sama sekali tak memercayai keberadaan hantu, Tuhan, bahkan iblis sekalipun. Walaupun menggenggam salib, ia menganggap keajaiban itu konyol. 
     Maruyama sebenarnya sudah lama berkecimpung dalam bisnis ini, tetapi belum pernah bertemu dengan hantu sama sekali. Menurutnya, hal itu tak lebih dari sekedar pemikiran yang salah atau obsesi manusia. 
     Maruyama menjadi cenayang karena hal itu mendatangkan uang baginya. Apabila ia berkata kepada orang-orang yang datang berkonsultasi bahwa mereka diikuti roh jahat, mereka akan bersedia membayar berapa pun. Ia mencuri uang orang dengan memanfaatkan kelemahan mereka. 
     Maruyama sendiri sadar kalau dirinya seorang penipu. 
     "Ada hantu. Tolong jangan menjauh dari saya. Sangat berbahaya." Maruyama mengucapkan kata-kata yang berbeda dari isi hatinya dan menatap kamera lekat-lekat. 
     "Ya, oke. Kalau begitu, ayo kita segera mengambil gambar di bagian dalam rumah."
     Dengan sinyal dari Hoshino, kamera berhenti merekam dan mereka pun berpindah ke depan pintu rumah. 
     "Oke. Yuki, tolong buka pintunya. Pak Maruyama, anda masuk duluan. Sisanya kita lihat saja bagaimana jadinya."
     Setelah memberikan intruksi yang tak cukup jelas, Hoshino menyerahkan kunci kepada Yuki dan mulai merekam lagi. 
     "Baiklah, saya rasa sudah saatnya kita masuk ke dalam rumah," ucap Yuki sambil memasukkan kunci ke lubangnya, lalu memutarnya perlahan. 
     Terdengar bunyi gesekan besi berkarat dan pintu pun terbuka. Yuki menatap Maruyama untuk memintanya masuk. Maruyama menjawab dengan anggukan, lalu memutar kenop pintu. 
     Kriiiieeeet.
     Bunyi pintu terbuka seperti bunyi kuku yang digarukkan pada papan tulis kayu. Bunyi itu menyebabkan burung-burung gereja yang hinggap di dahan-dahan pohon kering bertebangan serempak sambil memekik nyaring dan meninggalkan bunyi kepakan sayap yang keras. 
     "Kyaa!" Yuki memekik pendek dan memegang lengan Maruyama. Wajahnya memucat. Ia benar-benar ketakutan. 
     Kalau bertindak dengan lihai, mungkin aku bisa mendapatkan kesempatan bagus. 
     Maruyama menjejakkan kaki ke dalam rumah dengan menyimpan niat buruk di dalam hatinya. Sinar lampu kamera menyinari jalan mereka.
     Ruangan depan rumah tersebut berupa atrium dengan koridor panjang di seberang pintu dan serangkaian anak tangga di sebelah kirinya. Lantainya tertutup dedaunan kering serta debu sampai-sampai tak terlihat bedanya dengan permukaan tanah. Kertas dinding yang telah menguning terkelupas di sana-sini. Bau seperti ikan busuk menusuk hidung mereka. 
     Padahal saat ini musim dingin, tetapi ruangan itu terasa sangat lembap. Walaupun mungkin saja mereka merasa begitu hanya karena terbawa suasana. Begitu Maruyama membenahi perasaannya, ia kembali berjalan menelusuri koridor bersama Yuki dan Hoshino. 
     Krit, krit, krit. 
     Lantai berderik tiap kali mereka melangkah. Begitu sampai di ujung koridor, Maruyama terhenti. 
     Sebuah pintu menghadang di depan mereka. 
     "Saya merasakan aura yang kuat dari balik pintu ini." Maruyama menunjuk pintu. 
     Sebetulnya ia tak merasakan aura apa pun. Saat briefing, ia tahu bahwa mayat korban pembunuhan ditemukan di ruang keluarga yang berada di ujung koridor, jadi ia hanya berakting dengan mengikuti informasi itu. 
     Zruut.
     Terdengar bunyi sesuatu yang jatuh tergelincir. 
     Tubuh Yuki bergetar hebat. 
     "...Si, siapa?!" seru Yuki dengan suara melengking, berbeda dengan suaranya sebelumnya. 
     "Ada apa?"
     "Ta, tadi ada yang menyentuh pundak saya..." jawab Yuki dengan air mata berlinang.
     Maruyama mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun, tak ada orang selain Hoshino yang sedang memegang kamera. Terkadang, akibat terbawa suasana, manusia berhalusinasi melihat atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Yuki pasti tipe orang yang seperti itu. 
     Maruyama, yang detak jantungnya juga meningkat, berusaha meyakinkan diri sendiri. 
     "Uwaaa!!" Hoshino tiba-tiba berteriak sambil terlonjak. 
     "Ada apa?" Tanya Maruyama sambil berusaha untuk tetap tenang. 
     "Tadi ada yang menyentuh leherku." Mata Hoshino membelalak terkejut.
     Jangan bercanda! Itu pasti cuma ilusi! Kepanikan Yuki pasti menularnya! Konyol!
     Cklak.
     Maruyama dengan spontan berpaling ke sumber suara. Pintu di ujung koridor yang sejak tadi tertutup perlahan-lahan terbuka...
     Bohong! Hal seperti ini tidak mungkin terjadi! Mereka pasti ingin menakut-nakutiku! Aku tidak akan tertipu!! 
     Maruyama menghirup napas dalam-dalam dan mengintip ke dalam ruangan di balik pintu. Penerangan dari sinar lampu kamera menerangi lantai. Tanpa sadar, matanya terbuka lebar-lebar. Di seluruh permukaan lantai terdapat noda hitam. Noda darah. 
     Apa benar pernah terjadi kasus pembunuhan di tempat ini? 
     "Tidak! Jangan ke sana!" jerit Yuki. Ia mencengkeram erat lengan Maruyama hingga laki-laki itu kesakitan. 
     "Tenang. Ada saya."
     Yuki tak memberikan respons apa pun terhadap ucapan Maruyama. Tubuhnya mulai gemetaran. Gemetarannya semakin bertambah kuat hingga akhirnya ia jatuh berlutut.
     "Ada apa?!"
     Yuki tak menjawab Maruyama. Tiba-tiba, ia memuntahkan isi perutnya di tempat itu dan tumbang sambil menekan dadanya.
     Oi, oi, ini bohong, 'kan?! 
     Seolah mengejek Maruyama yang terguncang, penerangan lampu kamera menghilang dari ruangan. Mereka diselimuti kegelapan pekat hingga tak dapat melihat ujung jari sekalipun. 
     Ada apa? Apa yang terjadi?!
     Klang, klang, klang.
     Terdengar bunyi logam yang dipukul secara beruntun. 
     "Uwaaah! Hentikan!"
     Teriakan Hoshino menusuk telinga Maruyama. Selanjutnya, ia mendengar bunyi gaduh dan amukan. Namun, tak sampai sepuluh detik kemudian, keheningan menyelimutinya. 
     "Pak Hoshino! Pak Hoshino!"
     Maruyama menjulurkan tangannya ke depan, mati-matian meraba-raba untuk mencari Hoshino yang seharusnya ada di situ sambil meneriakkan namanya. 
     Bruk. 
     Maruyama mendengar bunyi sesuatu yang jatuh ke lantai. Tubuhnya mulai berkeringat. Napasnya terasa sesak.
     Perasaan apa ini?! 
     Maruyama benar-benar telah kehilangan akal pikirannya di tengah kegelapan.
     Ada sesuatu yang menyentuh punggungnya!
     Haa, haa, haa --- !
     Dengan napas menderu, Maruyama berlari sekuat tenaga meski tak tahu arah tujuan. Akan tetapi, segera saja kakinya terantuk sesuatu dan ia pun jatuh terjerembap ke depan. 
     Maruyama sama sekali tak mengindahkan rasa sakit yang dirasakannya. Ia hanya berpikir untuk segera keluar dari tempat itu. Ketika ia berusaha berdiri dan mengangkat kepalanya, wajah seorang perempuan melayang di depan matanya. 
     Wajah perempuan itu dipenuhi darah. 
     Maruyama telah mencapai batasnya. 
     "AAAAAHHH!!" 
     Bersamaan dengan jeritannya, Maruyama pun kehilangan kesadaran.     

-oOo-

PSYICHIC DETECTIVE YAKUMO: Connected Feelings #1

Admin :
Kazunihongo_ttebayo
Kazunihongo_ttebayo - Copyright © 2014, All rights reserved. Design by iMoechan